“Positive thinking will let you do everything better than negative thinking will.” Kutipan tersebut merupakan sabda yang disampaikan Hilary Hinton ‘Zig’ Ziglar, seorang pembicara motivasi kelas dunia. Pesannya jelas, berpikir positif akan membuat segalanya menjadi lebih baik daripada membayangkan hal-hal negatif.
Mungkin, dengan sabda itulah semestinya kita menyikapi apa yang dialami timnas Indonesia U-19. Fakta bahwa skuat Garuda Jaya gagal meloloskan diri dari fase grup Piala Asia U-19, tentu membuat bangsa ini kecewa. Namun, perlu dicatat sebelum hasil yang dianggap nestapa itu terjadi, Evan Dimas Darmono dan kawan-kawan telah menghadirkan prestasi.
Siapa yang menyangka mereka bisa meraih gelar HKFA 2012, HKFA 2013, juara Piala AFF U-19 2013, dan lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Myanmar yang penyelenggaraanya masih berlangsung, secara berturut-turut? Sebelumnya, tentu tidak ada.
“Keberhasilan itu mestinya disyukuri. Bersyukur karena tim ini menyadarkan bahwa Indonesia memiliki pemain berpotensi. Kami pernah membuat pesta, menghadirkan euforia. Paling tidak, selama beberapa tahun terakhir, saya berusaha meletakkan cara bermain yang benar,” kata Indra Sjafri, pelatih Indonesia U-19.
Indra lantas membandingkan raihan anak asuhnya dengan raksasa Asia di level U-19, Korea Selatan. Sang penguasa (12 gelar) juga tumbang di fase grup Piala Asia U-19. Bedanya, Korea Selatan -yang di level senior berulang kali mentas di Piala Dunia- memang langganan turnamen. Indonesia? Mungkin tidak banyak yang tahu jika terakhir Garuda Jaya tembus kualifikasi yaitu 10 tahun lalu.
“Korsel itu langganan juara di Piala Asia. Tetapi mereka seperti kita, gagal. Kok kita menyikapinya secara berlebihan? Seolah-seolah kegagalan kami sebuah aib. Yang penting sekarang dievaluasi, tetapi tidak dengan cara menyalahkan dengan membabi buta. Saya melihat banyak yang positif dari perjalanan tim ini,” tuturnya.
Indra juga sedikit menyesali ada pihak-pihak yang menggunakan kegagalan timnya untuk menyerang federasi (PSSI). Ia lebih mengapresiasi jika momentum terkini dijadikan fondasi untuk membenahi diri.
Perubahan bisa dilakukan melalui klub atau SSB. Dua organisasi ini disebut Indra sebagai ujung tombak untuk membentuk pemain, bukan fungsinya federasi. Kenyataan bahwa federasi alpa meletakkan filosofi bermain yang utuh untuk dijalankan tim U-14 hingga level senior memang tidak bisa dibenarkan. Hanya saja, alangkah arifnya jika seluruh pemangku kepentingan sepak bola di Indonesia bercermin.
“Untuk saya, mau di federasi atau nggak, saya merasa berdosa jika tidak membantu sepak bola Indonesia. Saya akan selalu membina pemain mau lewat klub atau akademi nantinya. Saya akan bekerja lebih keras lagi,” tutur Indra.
“Jadi jangan dibalik, jangan disuruh federasi yang membina pemain. Federasi memang perlu untuk peningkatan kualitas pelatih, wasit, atau kompetisi. Tetapi membina pemain itu ya harus dilakukan Klub, SSB, Akademi, Asprov (Asosiasi Provinsi), Pengcab (Pengurus Cabang), atau anggota PSSI lainnya. Jangan hanya muncul pas kongres,” tambah pelatih yang geram dengan keberadaan sekelompok orang yang menimpakan kesalahan kepada pemainnya.
Hal senada dipaparkan mantan pelatih timnas Indonesia yang mulai aktif berkecimpung membina usia muda, Danurwindo. Om Danur, panggilan Danurwindo, kini tengah membantu Legenda Football Academy (LFA) -yang dimiliki pengusaha Erik Hidayat- untuk menyelenggarakan kompetisi kelompok usia 16 tahun.
Ia tergerak untuk membantu sebagai upaya menyumbangkan sesuatu untuk sepak bola Indonesia daripada hanya mencibir. “Semua orang bisa mengkritik. Yang sulit itu mencari yang benar-benar mau dan bisa bekerja. Paling tidak, makin banyak munculnya kompetisi, akan membantu untuk menciptakan pemain. Inilah yang membuat saya mau ikut membantu. Karena di usia muda-lah periode vital untuk mencetak pemain. Salah di dasar, akan sulit untuk mengubah,” ulas om Danur.
Menurut Om Danur, untuk lebih menggelorakan kembali sepak bola di tanah air, pihak swasta dan pemerintah perlu turun tangan. Memperbanyak perputaran roda kompetisi. Jika tangan-tangan pendukung mulai bergerak, tinggal melihat bagaimana federasi bereaksi membenahi diri, ikut memfasilitasi. Persoalan gagal, ya coba lagi. Koreksi tetapi jangan pernah berfikir untuk berhenti. (Eko Priyono)